RAWAT GABUNG (ROOMING-IN)

Kamis, 26 Januari 2012
TUJUAN PEMBAHASAN

Tingginya angka kematian bayi di Indonesia dapat diminimalisir salah satunya dengan melaksanakan rawat gabung (rooming in), bahkan infeksi nosokomial pada penatalaksanaan rawat gabung dapat kita tekan. Rawat gabung (rooming in) adalah satu cara perawatan di mana ibu dan bayi yang baru dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan ditempatkan dalam sebuah ruangan, kamar atau tempat bersama-sama selama 24 jam penuh dalam seharinya.
Pembahasan ini ditujukan untuk memberikan pengetahuan secara luas mengenai rawat gabung kepada pembaca dengan harapan yang besar dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas serta mewujudkan kesejahteraan ibu dan bayi.

***

PEMBAHASAN

A. Definisi Rawat Gabung
Sistem rawat bayi yang disatukan dengan ibu sehingga ibu dapat melakukan semua perawatan dasar bagi bayinya. Bayi bisa tinggal bersama ibunya dalam satu kamar sepanjang siang maupun malam hari sampai keduanya keluar dari rumah sakit atau bayi dapat dipindahkan ke bangsal neonatus atau ruang observasi pada saat-saat tertentu. Seperti pada malam hari atau pada jam-jam kunjungan besok.
(Farrer, 1999: 180)

Suatu sistem perawatan di mana bayi serta ibu dirawat dalam satu unit. Dalam pelaksanaannya bayi harus selalu berada di samping ibu sejak segera setelah dilahirkan sampai pulang.
(Prawirohardjo, 2007:266)
“the best possible structure in the hospital for facilitating mother-infant attachment, bonding, parenting, and the family unit is rooming-in”
“cara terbaik rumah sakit untuk memfasilitasi ibu dan bayi dalam attachment, bonding, parenting serta unit keluarga disebut rawat gabung”
(Varney 1987:651)
B. Tujuan Rawat Gabung
1. Bantuan emosional
Setelah menunggu selama sembilan bulan dan setelah lelah dalam proses persalinan si ibu akan sangat senang bahagia bila dekat dengan bayi. Si ibu dapat membelai-belai bayi, mendengar tangis bayi, mencium-cium dan memperhatikan bayinya yang tidur di sampingnya. Hubungan kedua makhluk ini sangat penting untuk saling mengenal terutama pada hari-hari pertama setelah persalinan. Bayi akan memperoleh kehangatan tubuh ibu, suara ibu, kelembutan dan kasih sayang (bonding effect).
(Prawirohardjo, 2007:266)
“The setting is ideal for a new, inexperienced mother not only to learn how to care for her baby but also to get to know her baby and how it communicates with her through body movement and vocal noises. The experienced mother also benefits from rooming-in and learning the individuality and communication style of this baby. Rooming-in makes the transition from hospital to home a gradual and natural one instead of shock.”
“Cara ini sangat ideal untuk seorang ibu, untuk ibu yang tidak berpengalaman tidak hanya belajar bagaimana merawat bayinya tetapi juga mengenal bayinya dan bagaimana berkomunikasi dengan gerakan tubuh dan suara. Para ibu yang berpengalaman juga belajar gaya individualitas dan komunikasi bayi. Rooming-in membuat transisi dari rumah sakit ke rumah melalui satu tahap alami dan menghindari syok.”
(Varney 1987:651)
2. Penggunaan ASI
ASI adalah makanan bayi yang terbaik. Produksi ASI akan lebih cepat dan lebih banyak bila dirangsang sedini mungkin dengan cara menetekkan sejak bayi lahir hingga selama mungkin. Pada hari-hari pertama, yang keluar adalah colostrum yang jumlahnya sedikit. Tidak perlu khawatir bahwa bayi akan kurang minum, karena bayi harus kehilangan cairan pada hari-hari pertama dan absorpsi usus juga sangat terbatas.
(Prawirohardjo, 2007:266)
“Rooming-in also is the ideal setting for breastfeeding (because the mother can respond when the baby is hungry and nurse frequently to stimulate lactation), to involve the father, and begin parenting.”
“Rooming-in juga cara yang ideal untuk IMD (karena ibu dapat merespon ketika bayi lapar dan perawat sering membantu merangsang laktasi secara sering), untuk melibatkan ayah, dan mulai mengasuh.”
(Varney 1987:652)
3. Pencegahan infeksi
Pada tempat perawatan bayi di mana banyak bayi disatukan, infeksi silang sulit dihindari. Dengan rawat gabung, lebih mudah mencegah infeksi silang. Bayi yang melekat pada kulit si ibu akan memperoleh transfer antibosi dari si ibu. Kolostrum yang mengandung antibody dalam jumlah tinggi, akan melapisi seluruh permukaan kulit dan saluran pencernaan bayi, dan diserap oleh bayi sehingga bayi akan mempunyai kekebalan yang tinggi. Kekebalan ini akan mencegah infeksi terutama pada diare.
4. Pendidikan kesehatan
Kesempatan melaksanakan rawat gabung dapat dimanfaatkan untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu, terutama primipara. Bagaimana teknik menyusui, memandikan bayi, merawat tali-pusat, perawatan payudara dan nasihat makanan yang baik, merupakan bahan-bahan yang diperlukan si ibu. Keinginan ibu untuk bangun dari tempat tidur, menggendong bayi dan merawat sendiri akan mempercepat mobilisasi, sehingga ibu akan lebih cepat pulih dari persalinan.
(Prawirohardjo, 2007:266)
Pada situasi normal, rawat gabung ibu-bayi dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas neonatus; tujuannya agar ibu-bayi meningkatkan hubungan batinnya sejak kelahiran; ibu selalu dapat merawat bayinya dan memberikan ASI on call/on demand; dapat mengurangi terjadinya abses mama dan kemungkinan karsinoma mama; petugas kesehatan dapat langsung memberikan petunjuk tentang berbagai masalah kala nifass sehingga dapat dilalui dengan aman dan bersih.
Pada keadaan abnormal, dengan rooming-in panas badan bayi dapat dipertahankan sehingga mengurangi morbiditas dan mortalitas; petugas kesehatan dapat memberikan nasehat mengenai kebersihan diri, vulva, payudara, puting susu, istirahat cukup, latihan mengembalikan otot diafragma pelvis dan perut, gizi sehat untuk laktasi, masalah hubungan seksual pasca persalinan serta keluarga berencana yang dianjurkan post partum.
(Manuaba, I.B.G, dkk. 2007:370)


Menurut jurnal penelitian yang diajukan pada Kongres Nasional Perkumpulan Perinatologi Indonesia (Perinasia) II, 27-29 Maret 1986 di Surabaya menunjukkan bahwa bayi yang dirawat gabung tidak menghasilkan kadar serum bilirubin dan penurunan berat badan yang berbeda dibandingkan dengan bayi yang dirawat pisah pada hari ketiga kehidupannya, sedang intensitas hiperbilirubinemia tak berhubungan dengan penurunan berat badan. Episode gastroenteritis tak dijumpai pada bayi yang dirawat gabung.
(Asparin, dkk, 1986:200)
C. Kelemahan Rawat Gabung
Ada satu kerugian yang terdapat (tapi dapat dicegah) pada rawat gabung. Jika ibu tidak berdisiplin dalam menggunakan setiap kesempatan untuk beristirahat, ia akan menyia-nyiakan waktu istirahatnya dan menjadi terlalu lelah. Jika perawat menyadarinya dan membantu mengatur istirahat ibu, problem seperti ini tidak akan terjadi.
(Farrer, 1999: 182)
D. Pelaksanaan Rawat Gabung
Sebagai pedoman penatalaksanaan rawat gabung telah disusun tata kerja sebagai berikut.
Di poliklinik Kebidanan: memberikan penyuluhan mengenai kebaikan ASI dan rawat gabung; memberikan penyuluhan mengenai perawatan payudara, makanan ibu hamil, nifas, perawatan bayi, dan lain-lain; mendemonstrasikan pemutaran film, slide mengenai cara-cara merawat payudara, memandikan bayi, merawat tali-pusat, Keluarga Berencana dan sebagainya; mengadakan ceramah, tanya jawab dan motivasi Keluarga Berencana; menyelenggarakan senam hamil dan nifas; membantu ibu-ibu yang mempunyai masalah-masalah dalam hal kesehatan ibu dan anak sesuai dengan kemampuan; membuat laporan bulanan mengenai jumlah pengunjung, aktifitas, hambatan dan lain-lain.
Di kamar bersalin: bayi yang memenuhi syarat perawatan bergabung dilakukan perawatan bayi baru lahir seperti biasa. Adapun kriteria yang diambil sebagai syarat untuk dapat dirawat bersama ibunya ialah: nilai Apgar lebih dari 7; berat badan lebih dari 2500, kurang dari 4000 gram; masa kehamilan lebih dari 36 minggu, kurang dari 42 minggu; lahir spontan presentasi kepala; tanpa infeksi intrapartum; ibu sehat. Dalam jam pertama setelah lahir, bayi segera disusukan kepada ibunya untuk merangsang pengeluaran ASI; memberikan penyuluhan mengenai ASI dan perawatan bergabung terutama bagi yang belum mendapat penyuluhan di poliklinik; mengisi status P3-ASI secara lengkap dan benar. Catat pada lembaran pengawasan, jam berapa bayi baru lahir dan jam berapa bayi disusukan kepada ibunya; persiapan agar ibu dan bayinya dapat bersama-sama ke ruangan.


Di ruang perawatan: bayi diletakkan di dalam tempat tidur bayi yang ditempatkan di samping tempat tidur ibu. Pada waktu berkunjung bayi dan tempat tidurnya dipindahkan ke ruangan lain; perawat haarus memperhatikan keadaan umum bayi dan dapat dikenali keadaan-keadaaan yang tidak normal serta kemudian melaporkan kepada dokter jaga; bayi boleh menyusu sewaktu ia menginginkan; bayi tidak boleh diberi diberi susu dari botol. Bila ASI masih kurang, boleh menambahkan air putih atau susu formula dengan sendok; ibu harus dibantu untuk dapat menyusui bayinya dengan baik, juga untuk merawat payudaranya; keadaan bayi sehari-hari dicatat dalam status P3-ASI; bila bayi sakit/perrlu observasi lebih teliti, bayi dipindahkan ke ruang peraatan bayi baru lahir; bila ibu dan bayi boleh pulang, sekali lagi diberi penerangan tentang cara-cara merawat bayi dan pemberian ASI serta perawatan payudara dan makanan ibu menyusui. Kepada ibu diberikan leaflet mengenai hal tersebut dan dipesan untuk memeriksakan bayinya 2 minggu kemudian; status P3-ASI setelah dilengkapi, dikembalikan ke ruangan follow up.
Di ruang follow-up: pemeriksaan di ruangan follow up meliputi pemeriksaan bayi dan keadaan ASI. Aktivitas-aktivitas di ruangan follow up: menimbang berat bayi; anamnesis mengenai makanan bayi yang diberikan dan keluhan yang timbul; mengecek keadaan ASI; memberikan nasihat mengenai makanan bayi, cara menyusukan bayi; pemeriksaan bayi oleh dokter Anak; pemberian imunisasi menurut instruksi dokter.
(Prawirohardjo, 2007:267)
Tenaga kesehatan harus melihat dan memeriksa bayi dalam rawat–gabung setiap hari untuk mengetahui apakah bayi tersebut tetap dalam keadaan baik, atau perlu mendapat pengobatan tertentu, atau perlu dipindahkan ke tempat perawatan bayi yang intensif.
1. Pemantauan keadaan bayi selama bayi dirawat
Bidan/perawat yang bekerja di bangsal bayi harus mengetahui ciri-ciri bayi yang normal, supaya ia dapat mengenal segera perubahan tingkah-lakunya dan kemajuan/kemunduran kesehatannya, dan membuat catatan serta laporan kepada dokter. Hal ini sangat membantu dokter yang bekerja di tempat perawatan bayi untuk melakukan tindakan dan pemeriksaan yang perlu guna menolong bayi tersebut. Pengamatan ditujukan terhadap:
a. Keadaan umum: bayi yang sehat tampak kemerah-merahan, aktif, tonus otot baik, menangis kuat, minum baik, suhu tubuh 36oC – 37oC. hal-hal yang menyimpang dari keadaan ini dianggap tidak normal.
b. Suhu tubuh paling kurang diukur satu kali sehari
c. Menimbang berat badan sebaiknya dilakukan setiap hari
d. Tinja yang berbentuk mekonium berwarna hijau tua yang telah berada di saluran pencernaan sejak janin berumur 16 minggu, akan mulai keluar dalam waktu 24 jam; pengeluaran ini akan berlangsung sampai hari ke 2-3.
e. Air kencing: bila kandung kencing belum kosong pada waktu lahir, air kencing akan keluar dalam waktu 24 jam.
f. Perubahan warna kulit
g. Pada perubahan pernafasan. Pada setiap gangguan pernapasan harus dilakukan foto paru.
h. Hal-hal lain: bila bayi muntah, perlu dicatat jumlah, warna, konsistensi yang dikeluarkan, cara muntah, apakah ada hubungannya dengan pemberian minum, gangguan di saluran pencernaan.
2. Pemantauan keadaan bayi sehari-hari
a. Mata bayi harus selalu diperiksa untuk melihat tanda-tanda infeksi
b. Mulut diperiksa untuk kemungkinan infeksi dengan kandida (oral trush).
c. Kulit, terutama di lipatan-lipatan (paha, leher, belakang telinga, ketiak), harus selalu bersih dan kering.
d. Tali-pusat pada umumnya akan puput pada waktu bayi berumur 6-7 hari. Bila tali-pusat belum puput (lepas) maka setiap sesudah mandi tali-pusat harus dibersihkan dan dikeringkan.
e. Kain popok harus segera diganti setiap kali basah karena air kencing atau tinja. Pantat bayi dibersihkan dengan air steril atau air bersih dan kemudian dikeringkan.
f. Sebelum tali-pusat lepas, sebaiknya bayi diseka saja dengan air steril atau air matang, bubuhkan obat antiseptik yang dapat membunuh kuman gram negatif/positif bila memungkinkan.
(Latief, 1985:1156)
E. Syarat Rawat Gabung
Pada prinsipnya syarat rawat gabung adalah di mana si ibu mampu menyusui dan si bayi mampu untuk menyusu. Kemampuan si ibu untuk menyusui dimulai dengan keinginan atau kesediaan yang berupa motivasi si ibu sendiri untuk menyusui. Disinilah pentingnya motivasi diberikan sejak awal kehamilan. Keadaan ibu yang sehat selalu memungkinkan si ibu untuk menyusui. Penolong persalinan harus cukup terlatih untuk menilai apakah ibu dan bayi mampu menyusui setelah proses persalinan.
(Prawirohardjo, 2007:268)
F. Kontra Indikasi Rawart Gabung
Pihak ibu
1. Fungsi kardiorespiratorik yang tidak baik
2. Eklampsia dan preklampsia berat. Keadaan ibu biasanya tidak baik dan pengaruh obat-obatan unuk mengatasi penyakit biasanya menyebabkan kesadaran menurun sehingga sementara ibu belum sadar betul. Tidak diperbolehkan ASI dipompa dan siberikan pada bayi.
3. Penyakit infeksi akut dan aktif, dikhawatirkan bahaya penularan pada bayi.
4. Karsinoma payudara. Pasien dengan karsinoma payudara harus dicegah jangan sampai ASInya keluar karena mempersulit penilaian penyakitnya. Apabila menyusi ditakutkan adanya sel-sel kasrsinoma yang terminum si bayi.
5. Psikosis: tidak dapat dikontrol keadaan jiwa si ibu bila menderita psikosis. Meskipun pada dasarnya ibu sayang pada bayinya, tetapi selalu ada kemungkinan penderita psikosis membuat cedera pada bayi.


Pihak bayi
1. Bayi kejang. Ada bahaya aspirasi, bila kejang timbul saat bayi menyusu.
2. Bayi yang sakit berat
3. Bayi yang memerlukan observasi atau terapi khusus
4. Very Low Birth Weight (Berat Badan Lahir Sangat Rendah). Refleks mengisap dan refleks lain pada VLBW belum baik sehingga tidak mungkin untuk menyusu dan dirawat gabung.
5. Cacat bawaan. Diperlukan persiapan mental si ibu belum pulih kesadarannya. Untuk menerima keadaan bahwa bayinya cacat. Cacat bawaan yang mengancam jiwa si bayi merupakan kontra indikasi mutlak.
6. Kelainan metabolik di mana bayi tidak dapat menerima ASI.
(Prawirohardjo, 2007:268)
G. Kesulitan Rawat Gabung
1. Kasus tidak terdaftar belum memperoleh penyuluhan sehingga masih takut untuk menerima rawat gabung.
2. Kekurangan tenaga pelaksana untuk penyuluhan dan pendidikan kesehatan untuk mencapai tujuan yang maksimal.
3. Secara terpaksa masih digunakan susu formula untuk keadaan-keadaan di mana ASI sangat sedikit; ibu yang mengalami tindakan operatif dan belum pulih kesadarannya.
(Prawirohardjo, 2007:269)

***

DAFTAR PUSTAKA

Farrer, Helen. 1999. Perawatan Maternitas edisi 2. Jakarta : EGC
Latief, Abdul. Dr. 1985. Ilmu Kesehatan Anak (Cet.IV). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Manuaba, I.B.G, dkk. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan (Cet.IX). Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Varney, Hellen. 1987. Varney’s Midwifery. Boston: Blackwell Scientific

Jurnal Penelitian :
Asparin, dkk. 1986. Rawat Gabung Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

MIOMA UTERI beserta contoh tinjauan kasus

Minggu, 01 Januari 2012
TUGAS KELOMPOK BKIA
MIOMA UTERI
RS TNI AU SOEMITRO SURABAYA




Pembimbing : Munisah S.ST


Disusun Oleh :
1. Puspita Kumala Sari
2. Qurrotul Azizah
3. Putri Ayu Aikmel

AKADEMI KEBIDANAN DELIMA PERSADA GRESIK
GRESIK TA : 2010 -
2011

***

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan hasil study kasus mioma uteri di ruang BKIA RS TNI AU Soemitro Surabaya pada tanggal 1 Agustus 2011.

Laporan hasil study tindakan ini disusun oleh :
Nama : Puspita Kumala Sari (10.04.029)
Qurrotul Azizah (10.04.030)
Putri Ayu Aikmel (10.04.077)
Disetujui dan disahkan pada :
Hari :
Tanggal :


Mengetahui,

Kepala Ruangan Pembimbing Ruangan



***

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas limpahan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan praktek semester II di RS TNI AU Soemitro Surabaya, yang bertujuan menerapkan ilmu meliputi KDPK dan ilmu penunjang lainnya. Dan tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Sri Utami, S. ST. M. Mkes selaku direktur AKBID Delima Persada Gresik.
2. dr. Mukti A Berlian, Sp. PD selaku kepala Rumah Sakit TNI AU Soemitro Surabaya.
3. Kepala ruangan dan pembimbing praktek di RS TNI AU Soemitro Surabaya.
4. Munisah, S. ST selaku pembimbing praktek di RS TNI AU Soemitro Surabaya.
5. Orang tua serta rekan – rekan mahasiswa yang telah memberikan dukungan dan doa.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Harapan penulis, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Surabaya, Agustus 2011

Penulis

***

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
1.2.2 Tujuan khusus

BAB II Tinjauan Pustaka
2.1 Jenis Prasat
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pengertian
2.2.2 Patogenesis
2.2.3 Patologi anatomi
2.2.4 Komplikasi
2.2.5 Gejala dan tanda
2.2.6 Diagnosis
2.2.7 Pengobatan
2.2.8 Pengobatan paliatif
2.2.9 Radioterapi

BAB III Tinjauan Kasus
3.1 Pengumpulan Data
3.1.1 Identitas Pasien
3.1.2 Anamnesa
3.2 Data Obyektif
3.3 Pemeriksaan Penunjang
3.4 Assesment
3.5 Perencanaan

BAB IV Penutup
4.1 Simpulan
4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

***

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu upaya untuk mewujudkan derajat kesehatan optimal adalah dengan menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI). Mortalitas dan Mobiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah di negara berkembang. Kebutuhan reproduksi pria dan wanita sangat vital bagi pembangunan sosial dan pengembangan SDM. Pelayanan kesehatan tersebut dinyatakan sebagai bagian integral dan pelayanan dasar yang akan terjangkau seluruh masyarakat.

Salah satu penyakit sistem reproduksi wanita sejenis tumor yang paling sering ditemukan adalah mioma uteri. Mioma Uteri adalah Neo Plasma jinak berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal jiga istilah Fibronoma, leimioma ataupoun Fibrid.

Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita yang berkulit hitam ditemukan lebih banyak. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarche. Setelah menopause hanya kira-kira 10% mioma yang masih bertumbuh. Di Indonesia, mioma uteri ditemukan 2.39% – 11.7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat.

Bila mioma uteri bertambah besar pada masa post menopause harus dipikirkan kemungkinan terjadinya degenerasi maligna (sarcoma) (Sastrawinata, 1988).
Dengan pertumbuhan mioma dapat mencapai berat lebih dari 5 kg. Jarang sekali mioma ditemukan pada wanita berumur 20 tahun, paling banyak berumur 35 – 45 tahun (25%). Pertumbuhan mioma diperkirakan memerlukan waktu 3 tahun agar dapat mencapai ukuran sebesar tinja, akan tetapi beberapa kasus ternyata tumbuh cepat. Mioma uteri ini lebih sering didapati pada wanita nulipara atau yang kurang subur (Saifuddin, 1999 dan 2000).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu melakukan asuhan kebidanan pada ibu dengan gangguan kesehatan reproduksi yaitu mioma uteri.

1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian data pada klien dengan mioma uteri
1.2.2.2 Mahasiswa mampu melakukan analisa data pada ibu dengan mioma uteri.
1.2.2.3 Mahasiswa mampu membuat perencanaan tindakan pada ibu dengan mioma uteri.
1.2.2.4 Mahasiswa mampu melakukan rencana rencana yang telah disusun pada ibu dengan mioma uteri
1.2.2.5 Mahasiswa mampu mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan kepada ibu dengan mioma uteri.
1.2.2.6 Mahasiswa mampu mendekomentasi Asuhan Kebidanan pada ibu dengan mioma uteri.

***

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian
Mioma uteri adalah tumor jinak ginekologi yang paling sering dijumpai, ditemukan satu dari empat wanita usia reproduksi aktif (Robbins, 1997). Mioma uteri dikenal juga dengan istilah leiomioma uteri, fibromioma uteri atau uterin fibroid, ditemukan sekurang-kurangnya pada 20%-25% wanita di atas usia 30 tahun. Laporan lain dari suatu studi melalui pemeriksaan post mortem pada jenazah wanita menunjukkan angka kejadian mioma yang lebih tinggi yaitu mencapai 50% atau lebih (Djuwantono, 2004).
Sebagian besar kasus mioma uteri adalah tanpa gejala, sehingga kebanyakan penderita tidak menyadari adanya kelainan pada uterusnya. Diperkirakan hanya 20%-50% dari tumor ini yang menimbulkan gejala klinik, terutama perdarahan menstruasi yang berlebihan, infertilitas, abortus berulang, dan nyeri akibat penekanan massa tumor (Djuwantono, 2004).
Sampai saat ini penyebab pasti mioma uteri belum dapat diketahui secara pasti, namun dari hasil penelitian diketahui bahwa pertumbuhan dan perkembangan mioma uteri distimulasi oleh hormon esterogen dan siklus hormonal (Djuwantono, 2004).
Mioma uteri adalah suatu tumor jinak yang tumbuh dalam otot uterus. Mioma uteri bukanlah suatu keganasan dan tidak juga berhubungan dengan keganasan. Mioma bisa menyebabkan gejala yang luas termasuk perdarahan menstruasi yang banyak dan penekanan pada pelvis (Yuad, 2005).

2.2 Pathogenesis
Meyer dan De Snoo mengajukan teori cell nest atau teori genitoblast. Percobaan Lipschutz yang memberikan estrogen kepada kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Efek fibromatosa ini dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron atau testosteron. Puukka dan kawan-kawan menyatakan bahwa reseptor estrogen pada mioma lebih banyak didapati daripada miometrium normal. Menurut Mayer asal mioma adalah sel imatur, bukan dari selaput otot yang matur.

2.3 Patologi Anatomi
Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uterus hanya 1-3%, sisanya adalah dari corpus uterus.
Menurut letaknya, mioma dapat kita dapati sebagai :
a. Mioma submukosum : berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus.


b. Mioma Intramural : mioma terdapat di dinding uterus diantara serabut miometrium.
c. Mioma subserosum : apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus, diliputi oleh serosa.
Mioma submukosum dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian dilahirkan melalui saluran serviks (myom geburt). Mioma subserosum dapat tumbuh diantara kedua lapisan ligamentum lantum menjadi mioma intraligamenter. Mioma subserosum dapat pula tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus, sehingga disebut wandering atau parasitic fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada serviks dapat menonjol kedalam saluran serviks sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri atas berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti konde atau pusaran air (whorl like pattern), dengan pseudocapsule yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini. Pernah ditemukan 200 sarang mioma dalam satu uterus, namun biasanya hanya 5-20 sarang saja. Dengan pertumbuhan mioma dapat mencapai berat lebih 5 kg. Jarang sekali mioma ditemukan pada wanita berumur 20 tahun, paling banyak pada umur 35 sampai 45 tahun (±25%). Pertumbuhan mioma diperkirakan memerlukan waktu 3 tahun agar dapat mencapai ukuran sebesar tinju, akan tetapi beberapa kasus ternyata tumbuh cepat. Setelah menopause banyak mioma menjadi lisut, hanya 10% saja yang masih dapat tumbuh lebih lanjut.
Mioma uteri ini lebih sering didapati pada wanita nulipara atau yang kurang subur. Faktor keturunan juga memegang peran. Perubahan sekunder pada mioma uteri yang terjadi sebagian besar bersifat degenerasi. Hal ini oleh karena berkurangnya pemberian darah pada sarang mioma.
Perubahan sekunder
1. Atrofi : sesudah menopause ataupun sesudah kehamilan mioma uteri menjadi kecil.
2. Degenerasi Hialin : perubahan ini sering terjadi terutama pada penderita berusia lanjut. Tumor kehilangan struktur aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian besar atau hanya sebagian kecil daripadanya seolah-olah memisahkan satu kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.
3. Degenerasu kistik : Dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana sebagian dari mioma menjadi cair, sehingga terbentuk ruang yang tidak teratur berisi seperti agar-agar, dapat juga terjadi pembekakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai limfangioma. Dengan konsistensi yang lunak ini tumor sukar dibedakan dari kista ovarium atau suatu kehamilan.
4. Degenerasi membantu (calcireous degeneration) : Terutama terjadi pada wanita usia lanjut oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto rontgen.
5. Degenerasi merah (carneous degeneration) : perubahan ini biasanya terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis : diperkirakan karena suatu nekrosis subakut sebagai gangguan vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat sarang mioma seperti daging mentah berwarna merah disebabkan oleh pigmen hemosiderin dan hemofusin.
6. Degenerasi lemak : jarang terjadi, merupakan kelanjutan degenerasi hialin.

2.4 Komplikasi
Degenerasi ganas
Mioma uteri yang menjadi leimiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6% dari seluruh mioma; serta merupakan 50-70% dari semua sarcoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah di angkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause.
Torsi (putaran tangkai)
Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torso, timbul gangguan sirkulsi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan – lahan, gangguan akut tidak terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan dengan suatu keadaan dimana terdapat banyak sarang mioma dalam rongga peritoneum.
Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan karena gangguan sirkulasi darah padanya. Misal terjadi pada mioma yang dilahirkan hingga perdarahan berupa metroragia atau menoragia disertai leukore dan gangguan-gangguan yang disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri.

2.5 Gejala dan tanda
Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang dikeluhkan sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada (serviks, intramural, submukus, subserus), besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi.
Gejala tersebut dapat digolongkan sebagai berikut.
Perdarahan abnormal. Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore, menoragia dan dapat juga terjadi metroragia. Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini, antara lain :
2.5.1 pengaruh ovarium sehingga terjadilah hyperplasia endometrium sampai adenokarsinoma endometrium.
2.5.2 permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasa.
2.5.3 atrofi endometrium di atas mioma submukosum
2.5.4 miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma diantara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik.
Rasa nyeri. Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas tetapi dapat timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada pengeluaran mioma submukoasum yang akan dilahirkan, pula pertumbuhannya yang menyempit kanalis servikalis dapat menyebabkan juga disminore.
Gejala dan tanda penekanan. Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Penekanan pada kandung kemih akan menyebabkan poliuria, pada uretra dapat menyebabkan retensio urine, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rectum dapat menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe di panggul dapat menyebabkan edeme tungkai dan nyeri panggul.
Infertilitas dan abortus
Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosum juga memudahkan terjadinya abortus oleh karena distorsi rongga uterus. rubin (1958) menyatakan bahwa apabila penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan, dan mioma merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka merupakan suatu indikasi untuk dilakukan miomektomi.
Mioma uteri dan kehamilan
Mioma uteri dapat mempengaruhi kehamilan, misalnya menyebabkan infertilitas; risiko terjadinya abortus bertambah karena distorsi rongga uterus; khususnya pada mioma submukosum; letak janin; menghalangi kemajuan persalinan karena letaknya pada serviks uteri; menyebabkan inersia maupun atonia uteri, sehingga menyebabkan perdarahan pasca persalinan karena adanya gangguan mekanik dalam fungsi miometrium; menyebabkan plasenta sukar lepas dari dasarnya; dan mengganggu proses involusi dalam nifas.
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas adanya kehamilan pada mioma uteri memerlukan pengamatan yang cermat secara ekspektatif.
Kehamilan sendiri dapat menimbulkan perubahan pada mioma uteri, antara lain :
1. Tumor membesar terutama pada bulan-bulan pertama karena pengaruh estrogen yang kadarnya meningkat.
2. Dapat terjadi degenerasi merah pada waktu hamil maupun masa nifas seperti telah diutarakan di atas, yang kadang-kadang memerlukan pembedahan segera guna mengangkat sarang mioma.
3. Meskipun jarang mioma uteri bertangkai dapat juga mengalami torsi dengan gejala dan tanda sindrom abdomen akut.

2.6 Diagnosis
Seringkali penderita sendiri mengeluh akan rasa berat dan adanya benjolan pada perut bagian bawah. Pemeriksaan bimanual akan mengungkapkan tumor pada uterus yang umumnya terletak di garis tengah ataupun agak ke samping, seringkali teraba terbenjol-benjol.
Mioma intramural akan menyebabkan kavum uteri menjadi luas, yang ditegakkan dengan pemeriksaan uterus sonde. Diagnosis banding yang perlu kita pikirkan tumor abdomen di bagian bawah atau panggul ialah mioma subserosum dan kehamilan; Mioma submukosum yang dilahirkan harus dibedakan dengan inversio uteri; Mioma intramural harus dibedakan dengan suatu adenomiosis, khoriokarsinoma, karsinoma porporis uteri atau sarkoma uteri. USG abdominal dan transvaginal dapat membantu dan menegakkan dugaan klinis.

2.7 Pengobatan
Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah, 55% dari semua mioma uteri tidak membutuhkan suatu pengobatan dalam bentuk apapun, terutama apabila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan gangguan atau keluhan. Walaupun demikian mioma uteri memerlukan pengamatan setiap 3 -6 bulan. Dalam menopause dapat terhenti pertumbuhannya atau menjadi lisut. Apabila terlihat adanya suatu perubahan yang berbahaya dapat terdeteksi dengan cepat agar dapat diadakan tindakan segera.
Dalam dekade terakhir ada usaha mengobati mioma uterus dengan GnRH agonist (GnRHa). Hal ini didasarkan atas pemikiran leiomioma uterus terdiri atas sel-sel otot yang diperkirakan dipengaruhi oleh estrogen. GnRHa yang mengatur reseptor gonadotropin di hipofisis akan mengurangi sekresi gonadotropin yang mempengaruhi leiomioma.
Pemberian GnRHa (buseriline asetator) selama 16 minggu pada mioma uteri menghasilkan degenerasi hialin di miometrium hingga uterus dalam keseluruhannya menjadi lebih kecil. Akan tetapi setelah pemberian GnRHa, dihentikan leiomioma yang lisut itu tumbuh kembali dibawah pengaruh estrogen oleh karena mioma itu masih mengandung reseptor estrogen dalam konsentrasi yang tinggi. Perlu diingat bahwa penderita mioma uteri sering mengalami menopause yang terlambat.

2.8 Pengobatan Operatif
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukosum pada myom geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina. Pengambilan sarang mioma subserosum dapat mudah dilaksanakan apabila tumor bertangkai. Apabila miomektomi ini dikerjakan karena keinginan memperoleh anak, maka kemungkinan akan terjadi kehamilan 30-50 %.
Perlu disadari bahwa 25-35% dari penderita tersebut masih memerlukan histerektomi. Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya merupakan tindakan terpilih. Histerektomi dapat dilaksanakan per abdominam atau per vaginam. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan mencegah akan timbulnya karsinoma servisis uteri. Histerektomi supravaginal hanya dilakukan apabila terdapat kesukaran teknis dalam mengangkat uterus keseluruhannya.

2.9 Radioterapi
Tindakan ini bertujuan agar ovarium tidak berfungsi lagi sehingga penderita mengalami menopause. Radioterapi ini pada umumnya hanya dikerjakan kalau terdapat kontra indikasi untuk tindakan operatif. Akhir-akhir ini kontra indikasi tersebut makin berkurang. Radioterapi hendaknya hanya dikerjakan apabila tidak ada keganasan pada uterus.

***

BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Pengumpulan Data
Tanggal : 01-8-2011 Pukul : 07.35
3.1.1 Identitas Pasien
Nama : NY “M.P”
Umur : 44 th
Tgl lahir : 3 April 1967
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Bandarejo 4 Tengah RT. 4 RW. 5
3.1.2 Anamnesa
a. Keluhan utama : Ibu merasa nyeri di perut sejak 5 tahun yang lalu
b. Riwayat Menstruasi
1. Menarche : 13 tahun
2. Siklus : 28 hari
3. Lamanya : 7 hari
4. Banyaknya : 10 pembalut/sehari
5. Warna darah : merah
6. Sifat darah : encer
7. Dismenore : ya
8. Teratur/tidak : tidak teratur
9. Flour albus : tidak
10. HPHT : 16 Juli 2011
c. Riwayat Kesehatan Klien
1. Jantung : tidak ada
2. Hepatitis : tidak ada
3. Hipertensi : tidak ada
4. Gangguan siklus haid : tidak ada
5. DM : tidak ada
6. TBC : tidak ada
7. Asma : tidak ada
8. Tumor : tidak ada
9. Kanker : tidak ada
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
1. Jantung : tidak ada
2. Tumor : tidak ada
3. Kanker : tidak ada
4. Gangguan siklus haid : tidak ada
5. DM : tidak ada
6. Hepatitis : tidak ada
7. Hipertensi : tidak ada
8. TBC : tidak ada
9. Lain-lain : tidak ada
e. Status Perkawinan
Kawin : ya
Berapa lama : 16 tahun
Usia perkawinan : 16 tahun
Berapa kali menikah : 1 kali
f. Riyawat Persalinan yang lalu
1. Perempuan/spt B/2500 gr/50 cm/bidan/RS X, umur anak sekarang 16 tahun
2. Perempuan/spt B/3100 gr/50 cm/bidan/RS X, umur anak sekarang 9 tahun
3.2 Data Obyektif
Keadaan umum : cukup
Kesadaran : composmentis
TTV : TD : 131/81 mmHg S : 36,5 ° C
N : 77x/menit RR : 20x/menit

Pemeriksaan fisik
Rambut : warna : hitam beruban (-)
rontok (-)
Kepala : benjolan (-)
lesi (-)
Muka : icterus (-)
hyperemia (-)
oedeme (-)
pucat (-)
Mata : conjungtiva : merah muda
sklera : tidak icterus
Hidung : polip (-)
pernapasan cuping hidung (-)
Mulut : karang gigi (+)
caries gigi (-)
stomatitis (-)
lidah pucat (-)
lidah kotor (-)
Telinga : benda asing (-)
keluaran (-)
Leher : pembesaran kelenjar tirod (-)
Dada : ronchi (-)
wheezing (-)
Ketiak : pembesaran kelenjar limfe (-)
Payudara : benjolan (-)
nyeri (-)
pengeluaran dari puting (-)
Perut : benjolan (-)
nyeri (-)
Genetalia : kebersihan (+)
varises pada vulva (+)
keluaran darah / lendir (+)
Anus : tidak ada hemoroid
Ekstremitas : reflek patella (+/+)
oedeme (-)
varises (-/-)

3.3 Pemeriksaan Penunjang
3.2.1 USG
3.2.2 Biopsi
3.2.3 Hb

3.6 Assesment
3.6.1 Diagnosa : Mioma uteri
3.6.2 Masalah : Tidak ada
3.6.3 Diagnosa potensial : Tidak ada

3.7 Perencanaan
3.7.1 Menjelaskan hasil pemeriksaan pada ibu
Rasional : Agar ibu mengetahui kondisi kesehatannya.
Evaluasi : Ibu mengetahui bahwa dirinya menderita tumor kandungan.
3.7.2 Menganjurkan ibu melakukan USG
Rasional : Untuk mengetahui besarnya tumor dan tingkat keganasan tumor.
Evaluasi : Ibu mau melakukan USG
3.7.3 Memberikan KIE pada ibu
a. Bersabar dalam menghadapi sakit
b. Mengurus JPS untuk meringankan biaya
c. Memberi keyakinan dan support bahwa sakitnya bisa sembuh
d. Menjaga nutrisi tetap baik
e. Menjaga kondisi tubuh tetap sehat
f. Mengurangi aktivitas
Rasional : Agar ibu sabar dan siap menghadapi sakit dan kondisi ibu tetap fit sampai pengobatan selanjutnya.
Evaluasi : Ibu mengerti dan mau mengikuti anjuran petugas
3.5.4 Dianjurkan ibu untuk kontrol besok pagi sambil membawa hasil USG

***

BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Dari uraian tentang masalah penerapan manajemen kebidanan dalam memberikan asuhan kebidanan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

Dalam melakukan pengkajian diperlukan komunikasi yang baik dan dapat membangun hubungan saling percaya antar klien dengan bidan. Dalam menganalisa data dengan cermat maka dapat dibuat diagnosa, masalah, dan kebutuhan klien yang sesuai.
Dalam menyusun rencana tindakan asuhan tidak mengalami kesulitan jika ada kerja sama yang baik dengan klien. Pelaksanaan tindakan disesuaikan dengan prioritas masalah dan disadarkan pada perencanaan tindakan yang disusun. Hasil evaluasi dan kegiatan yang telah dilaksanakan merupakan penilaian tentang keberhasilan asuhan kebidanan dan pelaksanaan diagnosa.

4.2 Saran
4.2.1 Bagi petugas, bidan dalam fungsinya sebagai pelaksana pelayanan kebidanan harus meningkatkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki serta harus memiliki kerja sama yang baik dengan petugas kesehatan yang lain dengan klien dan keluarga.
4.2.2 Bagi klien/pasien, pasien harus dapat bekerja sama dengan baik pada petugas/tenaga kesehatan agar keberhasilan dalam asuhan kebidanan dapat tercapai serta semua masalah pasien dapat terpecahkan.
4.2.3 Bagi rumah sakit, rumah sakit harus berusaha untuk mempertahankan pelayanan yang sudah ada dan selalu berusaha untuk memberikan pelayanan yang terbaik untuk pasien.

***

DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo, sarwono. 2007. Hal: 338. Ilmu kandungan edisi 2 cetakan 5. Jakarta : Yayasan bina pustaka.
Djuwantono T. 2004. Terapi GnRH Agonis Sebelum Histerektomi atau Miomektomi. Farmacia. Vol III NO. 12. Jakarta : 2004
Robbins SL, Kumar V. Buku ajar Patologi II. Edisi Ke-4. Jakarta : EGC, 1995
Yuad, haviz . 2005 . Miomectomi Pada Kehamilan . Universitas Andalas bagian obstetri dan ginekologi FK Unand/ BLU RSUP dr. M. Djamil Padang
Manuaba, 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. Jakarta. EGC.
Mochtar Rustam, 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC.
Prayetni, 1996. Asuhan Kebidanan pada Ibu dengan Gangguan Sistem Reproduksi. Jakarta. Pusdiknakes : Depkes RI.
Saifuddin, AB. 1999. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saifuddin, AB. 2002. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.